Jakarta, suaraadhiyaksa.com (13/11/2025)
Sengketa lahan warga penghuni Ruko Marinatama dengan Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) TNI AL terus berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. 42 warga penghuni ruko Marinatama (Marina) Mangga Dua, Jakarta Utara menggugat Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) terkait penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
Mewakili warga sebagai kuasa hukum, Subali, SH, menuntut agar Kementerian Pertahanan (Kemenhan) turun tangan memediasi konflik ini.
Mereka berharap agar proses hukum dapat berjalan secara adil dan transparan.
Gugatan ini diajukan sebagai bentuk keberatan atas penerbitan sertifikat
hak pakai atas lahan tempat mereka berdiri yang dinilai cacat hukum dan melanggar prosedur
administrasi pertanahan.
Subali, S.H., menjelaskan bahwa gugatan ini berfokus pada keabsahan
penerbitan hak pakai yang bertentangan dengan komitmen awal pembangunan kawasan
Marinatama pada akhir 1990-an.
Berawal dari warga yang membeli dan menempati ruko dengan perjanjian akan memperoleh Sertifikat Hak Guna
Bangunan (SHGB), bukan hak pakai.
Selanjutnya setelah lebih dari dua dekade, yang muncul justru sertifikat hak pakai atas nama pihak lain.
Kami menilai proses ini melanggar ketentuan hukum agraria,” ungkap Subali.(12/11).
Sidang kelima perkara ini sempat ditunda untuk memberi kesempatan bagi kedua pihak
menyerahkan dokumen tambahan.
Majelis hakim menekankan pentingnya pembuktian yang
relevan dan profesional, termasuk menghadirkan saksi serta ahli yang kompeten.
Lebih lanjut, Subali menngatakan pihaknya akan menghadirkan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI) untuk menjelaskan aspek hukum konversi tanah negara yang dianggap tidak
sesuai ketentuan.
Menurut aturan, tanah negara harus lebih dulu dikonversi menjadi Hak Pengelolaan Lahan
(HPL) atas nama Kementerian Pertahanan, baru kemudian dapat dilekati Hak Guna Bangunan
(HGB).
"Dalam kasus ini, tanah langsung diterbitkan sebagai Hak Pakai, ini yang kami
anggap keliru secara hukum,” jelas Subali.
Saat proses hukum yang masih berjalan, warga penghuni ruko mengaku menerima surat
peringatan untuk mengosongkan bangunan dari pihak Inkopal.
Beberapa warga juga
melaporkan adanya intimidasi dan teror dari orang tidak dikenal setelah mengikuti
persidangan.
“Langkah-langkah itu mencederai proses hukum yang sedang berjalan, tidak boleh ada
pengosongan sebelum ada putusan hukum tetap,” ujar Subali menegaskan.
Pihaknya juga meminta aparat penegak hukum dan pemerintah untuk memberikan
perlindungan kepada warga agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang di luar mekanisme
hukum yang berlaku.
Sebagai langkah damai, para warga telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Pertahanan
Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, 29 Oktober 2025.
Dalam surat, warga memohon agar Kementerian Pertahanan (Kemenhan) bersedia menjadi mediator antara warga dan Inkopal dalam penyelesaian sengketa ini.
Kompleks Ruko Marinatama dibangun sejak akhir 1990-an sebagai kawasan perdagangan dan
perkantoran di bawah koordinasi Inkopal.
Kuasa hukum dan warga berharap proses hukum di PTUN Jakarta dapat menjadi sarana
penyelesaian yang adil dan transparan, tanpa tekanan dari pihak manapun.
Sidang lanjutan di PTUN Jakarta dijadwalkan pada Rabu (12/11/2025), dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli konversi tanah dari pihak penggugat. Warga berharap agar kehadiran ahli tersebut dapat memperkuat argumentasi hukum dan membuka jalan bagi solusi yang adil bagi seluruh pihak.(JJ)
5104 view
4149 view
3927 view
3554 view
2414 view
2236 view
1933 view
1117 view
1045 view
888 view